DM vs MD


Hari ini, baru memasuki bab pertama pada naskah yang hendak saya edit, saya menemukan satu kalimat yang menarik (lebih tepatnya, membuat saya bingung).

“Charles Babbage, seorang profesor matematika di Cambridge, Inggris, dianggap oleh banyak orang sebagai bapak komputer karena dua penemuannya yang luar biasa, yakni mesin komputer mekanis dengan jenis yang berbeda.” (1)

Saya sempat bingung dengan struktur frasa yang dicetak miring. Saya terpaku pada satu hukum, yaitu hukum DM dalam bahasa Indonesia. Hukum DM, singkatan dari “diterangkan-menerangkan”, adalah aturan dalam tata bahasa bahasa Indonesia yang menyebutkan bahwa baik dalam kata majemuk maupun dalam kalimat, segala sesuatu yang menerangkan selalu terletak di belakang yang diterangkan. (Alisjahbana, 1986: 73-75 melalui Wikipedia).

Penggunaan logika paling mudah untuk menentukan kata yang termasuk D dan kata yang termasuk M adalah dengan menghilangkan salah satu kata tersebut pada penggunaannya di sebuah kalimat. Contoh:

(1a) Charles Babbage, seorang profesor matematika di Cambridge, Inggris, dianggap oleh banyak sebagai bapak komputer karena dua penemuannya yang luar biasa, yakni mesin komputer mekanis dengan jenis yang berbeda.

(1b) Charles Babbage, seorang profesor matematika di Cambridge, Inggris, dianggap oleh orang sebagai bapak komputer karena dua penemuannya yang luar biasa, yakni mesin komputer mekanis dengan jenis yang berbeda.

Contoh (1a) adalah kalimat yang tidak bisa dipahami, kata banyak tidak bisa berdiri sendiri. Berbeda halnya dengan contoh (1b).

Maka, dalam frasa tersebut, contoh (1), orang adalah kata utama atau kata yang diterangkan (D). Sebaliknya, banyak adalah kata yang berposisi untuk menerangkan (M). [Penjelasan lebih lengkap mengenai hukum DM dalam bahasa Indonesia bisa dibaca di artikel ini https://rubrikbahasa.wordpress.com/2003/09/01/hukum-dm-dalam-bahasa-indonesia/ (oleh JS. Badudu)]

Berdasarkan hukum DM dan logika tadi, saya berkesimpulan bahwa banyak orang adalah frasa yang salah. Frasa yang benar adalah orang banyak.

Setuju dengan argumen saya? Jangan dulu! Saya masih punya contoh frasa serupa, yaitu satu ekor, tiga potong, dan beberapa kambing. Apakah frasa-frasa tersebut bisa diubah komposisinya tanpa mengubah makna? Misalnya dalam kalimat, “saya membeli beberapa kambing untuk pesta pernikahan”. Apakah frasa dalam kalimat tersebut bisa ditukar menjadi, “saya membeli kambing beberapa untuk pesta pernikahan”? (Ahem, sekedar contoh kalimat random :p )

Jawabannya tidak! Ternyata, Bapak Sutan Takdir Alisjahbana –sebagai pengemuka teori DM- mengatakan bahwa hukum DM memiliki beberapa pengecualian berupa beberapa golongan kata, yang meskipun menerangkan sesuatu, senantiasa atau sering terletak di depan kata-kata yang diterangkannya, yaitu:

  1. Kata bilangan: seekor, setiap, segala, dsb.
  2. Kata depan: di, dari, kepada, dsb.
  3. Kata keterangan: sudah, telah, akan, sesungguhnya, sebenarnya, dsb. Jenis ini dapat memiliki perbedaan makna jika susunannya berbeda, misalnya makan lagi dan lagi makan.
  4. Kata majemuk serapan dari bahasa asing seperti bumiputra yang mengikut aturan bahasa asingnya.

Jadi, selain frasa DM, bahasa Indonesia juga memiliki komposisi frasa MD.

Pertanyaannya, kenapa harus ada pengecualian? Apakah bahasa (baca: bangsa) kita ini tidak bisa konsisten dengan satu hukum saja?! Err… 😐

Jakarta, 9 Januari 2012

Sekedar berbagi kebingungan

Tinggalkan komentar